PENDAHULUAN
Tidak
ada model pembelajaran yang lebih baik dari model pembelajaran yang lain.
Setiap model dapat digunakan sesuai dengan spesifikasi tujuan, rasional yang
mendasari, sintaks pembelajaran, dan sistem pengelolaan dan pengaturan
lingkungan yang diberikan pada manualnya. Oleh karena itu, guru hendaknya menguasai dan dapat menerapkan berbagai model
pembelajaran agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sangat beraneka ragam
dalam lingkungan belajar yang merupakkan karakteristik sekolah sehingga sangat
bervariasi.
Dalam
memilih model pembelajaran dimulai dari menganalisis karakteristik tujuan yang akan dicapai, materi, peserta
didik, lingkungan belajar (alat-alat, sarana dan prasarana, sumber belajar),
serta kemampuan guru dalam sistem pengelolaan dan pengaturan lingkungan.
Selanjutnya guru memilih model yang dapat mengakomodasi
karakteristik-karakteristik tersebut. Tentu saja tidak semua karakteristik yang
ada sesuai dengan spesifikasi model. Dalam hal ini guru hendaklah memilih
karakteristik terpenting yang harus diakomodasi, atau menggunakan dua model
secara bersamaan.
Sumber : Peraturan Tertulis
Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59
Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Konseling
dapat dilaksanakan secara berbeda oleh konselor yang satu dengan lainnya.
Perbedaan ini bisa berakar pada pendekatan yang digunakan oleh konselor.
Pendekatan ini bisa berkaitan dengan sifat, orientasi teoretik, dan formatnya.
Atas
dasar sifatnya, konseling dapat dilaksanakan untuk tujuan preventif (preventive approach), pengembangan (developmental approach), kuratif (remedial approach), dan krisis (crisis approach). (Myrick, 1992).
1. Preventif
Konseling
bersifat preventif jika digunakan oleh konselor untuk mencegah masalah normal
(ringan) menjadi lebih serius. Permasalahan yang serius dapat menyebabkan
individu mengalami kegagalan di sekolah, gangguan emosional, atau terlibat
dalam berbagai bentuk kenakalan dan penyalahgunaan obat. Melalui konseling preventif,
konselor membantu siswa mempelajari keterampilan-keterampilan khusus dalam suatu
cara yang proaktif dan preventif sehingga semua siswa dapat mencapai
keberhasilan di sekolah.
Pendekatan
perkembangan digunakan untuk membantu setiap siswa memenuhi kebutuhannya dalam
setiap tahapan perkembangan dan menangani berbagai faktor yang menghambat
perkembanganan realisasi potensi. Konselor juga mungkin menggunakan konseling
untuk membantu individu menangani berbagai permasalahan yang sudah terlanjur
dialaminya.
2. Krisis
Konseling
krisis merupakan salah satu bentuk pelayanan responsif dalam model bimbingan
dan konseling komprehensif di samping konseling individu, konsultasi, dan
referal. Konseling krisis diberikan kepada siswa dan keluarganya yang sedang
mengalami situasi mendesak atau darurat. Konseling ini biasanya bersifat
temporer dan singkat.
Dilihat
dari perspektif pendekatan yang digunakan. Pendekatan konseling dapat dibedakan
atas dasar sasaran intervensi (aspek perilaku apa yang akan diubah), yakni
afektif (perasaan, emosi), kognisi (nilai, sikap, keyakinan, persepsi, logika
berpikir), dan perilaku (tindakan). Atas dasar itu dapat dibedakan adanya
pendekatan afektif, pendekatan, kognitif, dan pendekatan perilaku. Setiap
pendekatan terdapat beberapa orientasi teoretik.
A. Model
Konseling Tradisional
Pada
awalnya model ini hanya berkenaan dengan perubahan perilaku yang kasat mata dan
menggunakan teori-teori belajar, utamanya pengondisian klasik dan
pengkon-disian operan - sebagai kerangka
kerja dan memiliki asumsi yang sifatnya deter-ministik tentang sifat dasar
manusia, yakni manusia dipandang sebagai produk dari pengkondisian lingkungan
sosial budayanya. Semua bentuk perilaku – adaptif dan tidak adaptif – merupakan
hasil belajar. Gangguan perilaku (perilaku maladaptif) terjadi karena individu
menggunakan cara belajar yang salah, dan oleh karena itu dapat ditangani dengan
membelajarkan kembali individu dengan cara yang benar.
B. Model
Kognitif Perilaku
Model
ini mengintegrasikan teknik-teknik dari pendekatan kognitif dan humanistik ke
dalam suatu program perlakuan meskipun mereka tetap menempatkan perilaku
sebagai fokus utama dan teori belajar sebagai kerangka kerja. Artinya, para
teoris dan praktis KP tetaplah seorang behavioris. Para konselor KKP memandang manusia bukan hanya dibentuk
tetapi juga pembentuk lingkungannya. Mereka mengakui keterlibatan proses-proses
kognitif dan pemaknaan subyektif dalam
menjembatani efek peristiwa stimulus pada perilaku/respon, dan memberikan
kebebasan pada konseli untuk mengambil tanggung jawab bagi perilakunya sendiri.
Mereka memegang asumsi baru bahwa jika konseli diberikan keterampilan untuk
untuk mengubah diri, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan hidup mereka sendiri dengan cara
mengubah satu atau lebih faktor-faktor yang mempengaruhi perilakunya. Dapat
dikatakan, kecenderungan terakhir dalam KP diarahkan pada pengembangan prosedur
yang secara aktual dapat memberikan kontrol dan keterampilan pada konseli dan
dengan demikian meningkatkan kebebasan konseli untuk membuat pilihan, khususnya
pilihan untuk membuat respon terhadap lingkungan.
KP
kontemporer (KKP) menggunakan empat perspektif teoretik sebagai landasan kerja,
yakni: pengkondisian klasik,
pengkondisian operan, teori belajar sosial, dan kognitif-perilaku. Perspektif
pengkondisian klasik – dikembangkan oleh Ivan Pavlov - menegaskan bahwa
perilaku, baik yang adaptif maupun tidak adaptif, dikendalikan oleh stimuli
tertentu yang ada sebelum perilaku tersebut. Individu mempelajari perilaku
tidak adaptif (misalnya kecemasan) melalui peristiwa-peristiwa traumatik,
bencana alam, atau kecelakaan lainnya. Teori pengkondisian operan – dikembangkan
oleh B.F. Skinner - menegaskan bahwa
perilaku berifat operan, yakni
dihasilkan oleh konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. Konsekuensi ini
berupa ganjaran dan hukuman.
Secara
umum KP bertujuan untuk meningkatkan pilihan pribadi dan menciptakan kondisi
baru yang lebih mendukung belajar. Konseli, dengan bantuan konselor, menetapkan
tujuan-tujuan khusus pada permulaan proses konseling. Tujuan ini harus
sepsifik, konkrit dan jelas, dapat diukur, dan disepakati oleh konseli dan
konselor. Penting bagi konselor untuk memikirkan, menemukan, dan merencanakan
suatu cara untuk mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan dengan menggunakan
posedur (validasi) empiris. Setelah tujuan ditetapkan konselor dan konseli
mendiskusikan bentuk-bentuk perilaku yang dapat mengarah pada pencapaian
tujuan, lingkungan yang dipersyaratkan, dan membuat rencana kegiatan secara
jelas. Setelah itu konselor juga perlu membantu konseli merumuskan kontrak
perilaku.
C. Model
Kognitif Beck
Beck
membagi kognisi individu ke dalam empat
tingkatan berikut: pikiran otomatis (automatic
thought), keyakinan tingkat tinggi (intermediate
beliefs), keyakinan inti (core
beliefs), dan skema (schemas).
Pikiran otomatis merupakan aliran kognisi yang terus mengalir melalui mental yang
bersifat spontan dan situasional.
Tujuan
umum konseling kognitif adalah membantu konseli mengidentifiaksi
kesalahan-kesalahan dalam sistem pengolahan informasi dan kemudian memperbaikinya.
Untuk mencapai kondisi ini, konselor membantu konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran
otomatis dan keyakinan intinya dan mempertalikannya dengan emosi dan
perilakunya; mengevaluasi validitas dari pikiran-pikiran tersebut; dan kemudian
memodifikasinya. Tujuan tersebut ditetapkan melalui kolaborasi antara konselor
dan konseli, dan kemudian harus dirumuskan secara operasional dan ditulisakan
dalam bentuk pernyataan kontrak.
Sumber : Modul PLPG Bimbingan dan
Konseling
Konsorsium
Sertifikasi Guru 2013 UNESA
Model
Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga
model konseling lintas budaya, yakni (1) culture
centred model, (2) integrative model,
dan (3) ethnomedical model.
a.
Model
Berpusat pada Budaya (Culture Centred
Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa
budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitivisme, bebas, dan
materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme,
determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak
dikhotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka
pikir (framework) korespondensi
budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan
antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan
dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang
fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami
keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan
tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka. Oleh sebab itu pada model
ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, focus utama model ini adalah
pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan
menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman
konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara
ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman
terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
b.
Model
Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit
hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas
variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif,
yakni sebagai berikut :
1) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2) Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
3) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
4) Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family
experiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada
kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel
tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen
yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu
sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala
pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari
ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972)
dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai
budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model
konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional
yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
c.
Model
Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan
oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh
Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi
pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas
transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam
budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
Sumber
: Handout
Bimbingan
Dan Konseling Lintas Budaya
Oleh
Mamat Supriatna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar