Kamis, 23 April 2015

Teknik Diagnostik Kesulitan Belajar Siswa dan Contoh Ksus

Langkah-langkah melaksanakan diagnosis kesulitan belajar yaitu :
1. Mengidentifikasi peserta didik yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Dengan cara mengenali latar belakang baik psikologis maupun non psikologis. Kasus kesulitan belajar dapat diketahui melalui :
a. Analisis Perilaku
Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dapat diketahui melalui observasi atau laporan proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran dapat diketahui :
1) Cepat lambatnya menyelesaikan tugas
2) Kehadiran dan ketekunan dalam proses pembelajaran
3) Peran serta dalam mengerjakan tugas kelompok
4) Kemampuan kerjasama dan penyesuaian sosial
b. Analisis Prestasi Belajar
Dapat dilakukan dengan cara menghimpun dan menganalisis hasil belajar serta menafsirkannya. Dalam menafsirkan hasil belajar peserta didik harus menggunakan norma yaitu Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
2. Melokalisasi Letak Kesulitan Belajar
Dapat kita lakukan dengan cara mengetahui dalam mata pelajaran atau bidang studi apa kesulitan itu terjadi, kemudian aspek atau bagian mana kesulitan belajar itu dirasakan oleh peserta didik.
Untuk menemukan bidang studi apa peserta didik mengalami kesulitan belajar dapat dilakukan dengan cara membandingkan skor prestasi yang diperoleh peserta didik dengan nilai rata-rata dari masing-masing bidang studi. Sedangkan untuk mengetahui aspek atau bagian mana kesulitan belajar itu dirasakan oleh peserta didik dapat dilakukan dengan memeriksa hasil pekerjaan tes.
3. Menentukan Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Dapat dilakukan dengan cara meneliti faktor-faktor yang ada pada diri peserta didik (internal) dan faktor-faktor yang berada di luar peserta didik (eksternal) yang menghambat proses belajar dan atau pembelajaran.
4. Memperkirakan Alternatif Bantuan
Langkah yang akan ditempuh dengan cara menjawab beberapa pertanyaan berikut ini:
a. Apakah peserta didik masih mungkin ditolong untuk mengatasi kesulitannya?
b. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan peserta didik?
c. Kapan dan dimana pertolongan dapat diberikan kepada peserta didik?
d. Siapa yang dapat memberikan pertolongan?
5. Menetapkan Kemungkinan Cara Mengatasinya
Langkah ini merupakan langkah untuk menentukan bantuan atau usaha penyembuhan yang diperlukan peserta didik Selanjutnya rencana pemberian bantuan harus disesuaikan dengan jenis kesulitan yang dialami peserta didik.
Bantuan dapat diberikan melalui program remedial atau pengajaran perbaikan, layanan bimbingan dan konseling, program referal yaitu mengirimkan peserta didik kepada ahli yang berkompeten dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik.
6. Tindak Lanjut
Ini merupakan langkah terakhir yang berupa kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Memberikan pertolongan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, sebagai penerapan program bantuan yang telah ditetapkan pada langkah sebelumnya
b. Melibatkan berbagai pihak yang dipandang dapat memberikan pertolongan kepada peserta didik
c. Mengikuti perkembangan peserta didik dan mengadakan evaluasi terhadap bantuan yang telah diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki kesalahan atau ketidaktepatan bantuan yang diberikan
d. Melakukan referral kepada ahli lain yang berkompeten dalam menangani kesulitan yang dialami peserta didik
G. Pengajaran Remedial dan Program Pengayaan Dalam Proses Pembelajaran.
Banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar misalnya tidak mampu menyerap bahan pembelajaran dengan baik, tidak dapat konsentrasi dalam belajar, tidak mampu mengerjakan tes dan sebagainya. Peserta didik yang mengalami kesulitan belajar sehingga prestasi belajarnya rendah, maka guru atau konselor harus memberikan layanan bimbingan dengan baik. Layanan tersebut lebih dikenal dengan pengajaran
remedial sedangkan layanan bimbingan belajar bagi peserta didik yang tidak mengalami kesulitan belajar lebih dikenal dengan pengayaan atau enrichement.
1. Pengajaran Remedial dalam Pembelajaran
Remedial merupakan bentuk pengajaran yang bersifat kuratif (penyembuhan) dan atau korektif (perbaikan). Pengajaran remedial merupakan bentuk khusus pengajaran yang bertujuan untuk menyembuhkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang menjadi penghambat atau yang dapat menimbulkan masalah atau kesulitan dalam belajar bagi peserta didik.
Menurut Warkitri dkk. (1990), pengajaran remedial sangat diperlukan dalam proses pembelajaran karena :
a. Tidak semua peserta didik dapat mencapai hasil belajar sesuai kemampuannya.
b. Adanya kesulitan belajar berarti belum dapat tercapai perubahan tingkah laku siswa secara bulat sebagai hasil belajar
c. Untuk mengatasi kesulitan belajar tersebut diperlukan suatu teknik bimbingan belajar. Salah satu teknik bimbingan belajar adalah pengajaran remedial
Dengan demikian dalam pengajaran remedial, guru harus mampu menciptakan situasi yang memungkinkan peserta didik lebih mampu mengembangkan diri.
Secara umum, pengajaran remedial bertujuan membantu siswa mencapai mencapai hasil belajar sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Secara khusus, pengajaran remedial bertujuan membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar agar mencapai prestasi yang diharapkan melalui proses penyembuhan dalam aspek kepribadian atau dalam proses belajar mengajar.
Pengajaran remedial merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pembelajaran, mempunyai banyak fungsi dalam membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, antara lain
a. Fungsi korektif, adalah usaha untuk memperbaiki atau meninjau kembali sesuatu yang dianggap keliru.
b. Fungsi pemahaman, dalam pengajaran remedial terjadi proses pemahaman terhadap pribadi peserta didik, baik dari pihak guru, pembimbing, maupun peserta didik itu sendiri.
c. Fungsi penyesuaian, dalam pnegajaran remedial peserta didik dibantu untuk belajar sesuai dengan keadaan dan kemampuan yang dimiliki sehingga tidak merupakan beban bagi peserta didik.
d. Fungsi pengayaan, dalam pengajaran remedial guru berusaha membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar dengan menyediakan atau menambah berbagai materi pengajaran yang tidak atau belum disampaikan dalam pengajaran biasa.
e. Fungsi akselerasi, dalam pengajaran guru berusaha mempercepat pengajaran dengan menambah frekuensi pertemuan dan materi pengajaran.
f. Fungsi terapeutik, pengajaran remedial mengandung unsur terapeutik karena secara langsung atau tidak langsung berusaha menyembuhkan beberapa gangguan atau hambatan peserta didik.
Terdapat pendekatan-pendekatan dalam pengajaran remedial, antara lain
a. Pendekatan kuratif dalam pengajaran remedial
Pendekatan ini dilakukan setelah program pembelajaran yang pokok selesai dilaksanakan dan dievaluasi, guru akan menjumpai beberapa bagian dari peserta didik yang tidak mampu menguasai seluruh bahan yang disampaikan. Pelaksanaan pendekatan kuratif dapat dilakukan dengan cara :
1) Pengulangan (repetation), dapat dilakukan setiap akhir jam pertemuan, akhir unit pelajaran atau setiap pokok bahasan.
2) Pengayaan dan pengukuhan (enrichment dan reinforcement),
Layanan pengayaan dapat ditujukan kepada peserta didik yang mempunyai kelemahan ringan dan secara akademik mungkin peserta
didik tersebut cerdas. Dapat dilakukan dengan memberikan pekerjaan rumah atau pekerjaan di kelas pada saat pelajaran berlangsung.
3) Percepatan (acceleration)
Layanan percepatan ini diberikan kepada peserta didik yang berbakat namun menunjukkan kesulitan psikososial.
b. Pendekatan preventif dalam pengajaran remedial
Pendekatan preventif diberikan kepada peserta didik yang diduga akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan program yang akan ditempuh. Guru meng-klasifikasikan kemampuan siswa didik menjadi tiga golongan, yaitu peserta didik yang mampu menyelesaikan program sesuai waktu yang ditentukan, peserta didik yangdiperkirakan akan mampu menyelesaikan program lebih cepat dari waktu yang ditentukan, dan peserta didik yang tidak dapat menyelesaikan program sesuai waktu yang ditentukan.
Sesuai penggolongan tersebut maka teknik layanan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Kelompok belajar homogen, dalam kelompok ini peserta didik diberi pelajaran, waktu, dan tes yang sama.
2) Kelompok individual, pengajaran disesuaikan dengan keadaan peserta didik, sehingga setiap peserta didik mempunyai program tersendiri.
3) Layanan pengajaran dengan kelas khusus, peserta didik mengikuti program pembelajaran yang sama dalam satu kelas. Peserta yang mengalami kesulitan dalam bidang tertentu disediakan kelas khusus remedial. Bagi yang cepat belajarnya disediakan program pengayaan.
c. Pendekatan pengembangan dalam pengajaran remedial
Pengajaran remedial yang bersifat pengembangan merupakan upaya diagnostik yang dilakukan guru selama berlangsungnya pembelajaran. Sasarannya agar peserta didik dapat segera mengatasi hambatan-hambatan yang dialami selama mengikuti pembelajaran.Dalam pengajaran remedial juga terdapat beberapa metode.
Metode yang digunakan dalam pengajaran remedial yaitu :
a. Metode pemberian tugas.
Metode ini dilaksanakan dengan cara memberi tugas atau kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.
b. Metode diskusi
Diskusi adalah suatu bentuk interaksi antarindividu dalam kelompok untuk membahas suatu masalah. Diskusi digunakan dalam pengajaran remedial untuk memperbaiki kesulitan belajar dengan memanfaatkan interaksi individu dalam kelompok.
c. Metode tanya-jawab
Tanya jawab dalam pengajaran remedial dilakukan dalam bentuk dialog antara guru dengan peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Tanya jawab dilakukan secara individu maupun secara kelompok dengan peserta didik.
d. Metode kerja kelompok
Kerja kelompok dalam pengajaran remedial diusahakan agar terjadi interaksi diantara anggota dalam kelompok. Kelompok sebaiknya heterogen artinya dalam satu kelompok terdiri dari pria dan wanita, peserta didik yang mengalami kesulitan belajar dan peserta didik yang tidak mengalami kesulitan belajar.
e. Metode tutor sebaya
Tutor sebaya ialah peserta didik yang ditunjuk untuk membantu teman-temannya atau peserta didik lainnya yang mengalami kesulitan belajar. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan tutor sebaya adalah:
1) Mendapat persetujuan dari peserta didik yang mengikuti program perbaikan
2) Mempunyai prestasi akademik yang baik, kreatif, dan dapat menerangkan bahan yang dibutuhkan oleh peserta didik yang mengikuti program perbaikan
3) Tidak sombong, sabar, telaten, hubungan sosialnya bagus, tidak pelit, dan suka menolong sesama teman
f. Metode pengajaran individual
Pengajaran individual dalam pengajaran remedial yaitu proses pembelajaran yang hanya melibatkan seorang guru dan seorang peserta didik yang mengalami kesulitan belajar

Sugihartono,dkk. (2007). Psikologi Pedidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Kamis, 16 April 2015

Diagnostik Kesulitan Belajar Siswa

Kesulitan belajar yang dialami individu atau siswa yang belajar dapat diidentifikasi melalui faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor-faktor kesulitan belajar yang berasal dari dalam diri siswa sangat terkait dengan kondisi-kondisi fisiologis dan psikologisnya ketika belajar sedangkan faktor-faktor kesulitan belajar yang berasal dari luar diri siswa banyak yang bersumber pada kurangnya fasilitas, sebagai salah satu faktor penunjang keberhasilan aktivitas atau perbuatan belajar. Ketidakberhasilan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai suatu ketuntasan materi tidak dapat dilihat hanya pada satu faktor saja, akan tetapi banyak faktor yang terlibat dan mempengaruhi dalam proses belajar mengajar. Faktor yang dapat dipersoalkan adalah: siswa yang belajar, jenis kesulitan yang dihadapi dan kegiatan-kegiatan dalam proses belajar. Jadi, yang terpenting dalam kegiatan proses diagnosis kesulitan belajar adalah menemukan letak kesulitan belajar dan jenis kesulitan belajar yang dihadapi siswa agar pengajaran perbaikan (learning corrective) yang dilakukan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Proses belajar merupakan hal yang kompleks, di mana siswa sendiri yang menentukan terjadi atau tidak terjadinya aktivitas atau perbuatan belajar. Dalam kegiatan-kegiatan belajarnya, siswa menghadapi masalah-masalah secara intern dan ekstern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka siswa tidak dapat belajar dengan baik. Dimyati dan Mudjiono (1994 : 228 – 235) mengatakan: Faktor-faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajar adalah sebagai berikut:
1. Sikap terhadap belajar
2. Motivasi belajar
3. Konsentrasi belajar
4. Mengolah bahan belajar
5. Menyimpan perolehan hasil belajar
6. Menggali hasil belajar yang tersimpan
7. Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil kerja
8. Rasa percaya diri siswa
9. Inteligensi dan keberhasilan belajar
10. Kebiasaan belajar
11. Cita-cita siswa.
Selanjutnya, berdasarkan faktor-faktor ekstern ditinjau dari siswa, ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh pada aktivitas belajar. Dimyati dan Mudjiono, (1994) menyebutkan faktor-faktor tersebut, sebagai berikut:
1. Guru sebagai pembina siswa belajar
2. Prasarana dan sarana pembelajaran
3. Kebijakan penilaian
4. Lingkungan sosial siswa di sekolah
5. Kurikulum sekolah.

PENGERTIAN KESULITAN BELAJAR

Pada umumnya, “kesulitan belajar” merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih keras untuk dapat mengatasinya. Prayitno, dalam buku Bahan Pelatihan Bimbingan dan Konseling Materi Layanan Pembelajaran, Depdikbud (1995/1996:1-2) menjelaskan: 
Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar mengajar yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Hambatan-hambatan tersebut mungkin dirasakan atau mungkin tidak dirasakan oleh siswa yang bersangkutan. Jenis hambatan ini dapat bersifat psikologis, sosiologis dan fisiologis dalam keseluruhan proses belajar mengajar. Dapat dikatakan bahwa siswa yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada dibawah yang semestinya.

PROSEDUR DAN TEKNIK DIAGNOSISI KESULITAN BELAJAR SISWA

Skema diagnostik dan remedial
Prayitno dalam Buku Bahan Pelatihan Bimbingan dan Konseling  Depdikbud (1996) mengatakan bahwa secara skematik langkah-langkah diagnostik dan remedial kesulitan belajar untuk kegiatan bimbingan belajar.

IMPLIKASI

Setiap siswa memiliki kesulitan belajar masing-masing yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal, sebagai guru mata pelajaran maka guru harus dapat mengetahui kesulitan belajar siswa dan memfasilitasi siswa dalam mengatasi kesulitan belajar siswa melalui prosedur dan teknik yang telah dirancang oleh guru yang bersangkutan bekerja sama dengan guru bimbingan dan konseling. Dalam mendiagnosisi kesulitan belajar siswa, guru mata pelajaran dapat memeroleh data melalui nilai hasil ujian mata pelajaran yang diampunya.

DAFTAR PUSTAKA

   Depdikbud, Universitas Terbuka.1984/1985. Modul Diagnostik Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial. Jakarta. sugiyanto@uny.ac.id | 132
  Dimyati & Mudjiono.1994. Belajar dan Pembelajaran. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud. Jakarta.
  Prayitno. 1995/1995. Materi Layanan Pembelajaran. Bahan Pelatihan Bimbingan dan Konseling (“Dari Pola Tidak Jelas ke Pola Tujuh Belas”). Depdikbud. Jakarta.

Kamis, 09 April 2015

Pembelajaran Berbasis Bimbingan (Mengkaji Model-model Pembelajaran yang Lebih Berorientasi Pengembangan Individu)


PENDAHULUAN
Tidak ada model pembelajaran yang lebih baik dari model pembelajaran yang lain. Setiap model dapat digunakan sesuai dengan spesifikasi tujuan, rasional yang mendasari, sintaks pembelajaran, dan sistem pengelolaan dan pengaturan lingkungan yang diberikan pada manualnya. Oleh karena itu, guru hendaknya  menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sangat beraneka ragam dalam lingkungan belajar yang merupakkan karakteristik sekolah sehingga sangat bervariasi.
Dalam memilih model pembelajaran dimulai dari menganalisis karakteristik  tujuan yang akan dicapai, materi, peserta didik, lingkungan belajar (alat-alat, sarana dan prasarana, sumber belajar), serta kemampuan guru dalam sistem pengelolaan dan pengaturan lingkungan. Selanjutnya guru memilih model yang dapat mengakomodasi karakteristik-karakteristik tersebut. Tentu saja tidak semua karakteristik yang ada sesuai dengan spesifikasi model. Dalam hal ini guru hendaklah memilih karakteristik terpenting yang harus diakomodasi, atau menggunakan dua model secara bersamaan.
Sumber : Peraturan Tertulis
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor  59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
Konseling dapat dilaksanakan secara berbeda oleh konselor yang satu dengan lainnya. Perbedaan ini bisa berakar pada pendekatan yang digunakan oleh konselor. Pendekatan ini bisa berkaitan dengan sifat, orientasi teoretik, dan formatnya.
Atas dasar sifatnya, konseling dapat dilaksanakan untuk tujuan preventif (preventive approach), pengembangan (developmental approach), kuratif (remedial approach), dan krisis (crisis approach). (Myrick, 1992).
1.      Preventif
Konseling bersifat preventif jika digunakan oleh konselor untuk mencegah masalah normal (ringan) menjadi lebih serius. Permasalahan yang serius dapat menyebabkan individu mengalami kegagalan di sekolah, gangguan emosional, atau terlibat dalam berbagai bentuk kenakalan dan penyalahgunaan obat. Melalui konseling preventif, konselor membantu siswa mempelajari keterampilan-keterampilan khusus dalam suatu cara yang proaktif dan preventif sehingga semua siswa dapat mencapai keberhasilan di sekolah.
Pendekatan perkembangan digunakan untuk membantu setiap siswa memenuhi kebutuhannya dalam setiap tahapan perkembangan dan menangani berbagai faktor yang menghambat perkembanganan realisasi potensi. Konselor juga mungkin menggunakan konseling untuk membantu individu menangani berbagai permasalahan yang sudah terlanjur dialaminya.
2.      Krisis
Konseling krisis merupakan salah satu bentuk pelayanan responsif dalam model bimbingan dan konseling komprehensif di samping konseling individu, konsultasi, dan referal. Konseling krisis diberikan kepada siswa dan keluarganya yang sedang mengalami situasi mendesak atau darurat. Konseling ini biasanya bersifat temporer dan singkat. 
Dilihat dari perspektif pendekatan yang digunakan. Pendekatan konseling dapat dibedakan atas dasar sasaran intervensi (aspek perilaku apa yang akan diubah), yakni afektif (perasaan, emosi), kognisi (nilai, sikap, keyakinan, persepsi, logika berpikir), dan perilaku (tindakan). Atas dasar itu dapat dibedakan adanya pendekatan afektif, pendekatan, kognitif, dan pendekatan perilaku. Setiap pendekatan terdapat beberapa orientasi teoretik.
A.    Model Konseling Tradisional
Pada awalnya model ini hanya berkenaan dengan perubahan perilaku yang kasat mata dan menggunakan teori-teori belajar, utamanya pengondisian klasik dan pengkon-disian operan -  sebagai kerangka kerja dan memiliki asumsi yang sifatnya deter-ministik tentang sifat dasar manusia, yakni manusia dipandang sebagai produk dari pengkondisian lingkungan sosial budayanya. Semua bentuk perilaku – adaptif dan tidak adaptif – merupakan hasil belajar. Gangguan perilaku (perilaku maladaptif) terjadi karena individu menggunakan cara belajar yang salah, dan oleh karena itu dapat ditangani dengan membelajarkan kembali individu dengan cara yang benar. 
B.     Model Kognitif Perilaku
Model ini mengintegrasikan teknik-teknik dari pendekatan kognitif dan humanistik ke dalam suatu program perlakuan meskipun mereka tetap menempatkan perilaku sebagai fokus utama dan teori belajar sebagai kerangka kerja. Artinya, para teoris dan praktis KP tetaplah seorang behavioris. Para konselor  KKP memandang manusia bukan hanya dibentuk tetapi juga pembentuk lingkungannya. Mereka mengakui keterlibatan proses-proses kognitif dan pemaknaan subyektif  dalam menjembatani efek peristiwa stimulus pada perilaku/respon, dan memberikan kebebasan pada konseli untuk mengambil tanggung jawab bagi perilakunya sendiri. Mereka memegang asumsi baru bahwa jika konseli diberikan keterampilan untuk untuk mengubah diri, maka mereka akan memiliki kemampuan untuk  meningkatkan hidup mereka sendiri dengan cara mengubah satu atau lebih faktor-faktor yang mempengaruhi perilakunya. Dapat dikatakan, kecenderungan terakhir dalam KP diarahkan pada pengembangan prosedur yang secara aktual dapat memberikan kontrol dan keterampilan pada konseli dan dengan demikian meningkatkan kebebasan konseli untuk membuat pilihan, khususnya pilihan untuk membuat respon terhadap lingkungan.
KP kontemporer (KKP) menggunakan empat perspektif teoretik sebagai landasan kerja, yakni:  pengkondisian klasik, pengkondisian operan, teori belajar sosial, dan kognitif-perilaku. Perspektif pengkondisian klasik – dikembangkan oleh Ivan Pavlov - menegaskan bahwa perilaku, baik yang adaptif maupun tidak adaptif, dikendalikan oleh stimuli tertentu yang ada sebelum perilaku tersebut. Individu mempelajari perilaku tidak adaptif (misalnya kecemasan) melalui peristiwa-peristiwa traumatik, bencana alam, atau kecelakaan lainnya. Teori pengkondisian operan – dikembangkan oleh B.F. Skinner -  menegaskan bahwa perilaku berifat operan,  yakni dihasilkan oleh konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. Konsekuensi ini berupa ganjaran dan hukuman.
Secara umum KP bertujuan untuk meningkatkan pilihan pribadi dan menciptakan kondisi baru yang lebih mendukung belajar. Konseli, dengan bantuan konselor, menetapkan tujuan-tujuan khusus pada permulaan proses konseling. Tujuan ini harus sepsifik, konkrit dan jelas, dapat diukur, dan disepakati oleh konseli dan konselor. Penting bagi konselor untuk memikirkan, menemukan, dan merencanakan suatu cara untuk mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan dengan menggunakan posedur (validasi) empiris. Setelah tujuan ditetapkan konselor dan konseli mendiskusikan bentuk-bentuk perilaku yang dapat mengarah pada pencapaian tujuan, lingkungan yang dipersyaratkan, dan membuat rencana kegiatan secara jelas. Setelah itu konselor juga perlu membantu konseli merumuskan kontrak perilaku.


C.     Model Kognitif Beck
Beck membagi kognisi individu ke dalam  empat tingkatan berikut: pikiran otomatis (automatic thought), keyakinan tingkat tinggi (intermediate beliefs), keyakinan inti (core beliefs), dan skema (schemas). Pikiran otomatis merupakan aliran kognisi yang terus mengalir melalui mental yang bersifat spontan dan situasional.
Tujuan umum konseling kognitif adalah membantu konseli mengidentifiaksi kesalahan-kesalahan dalam sistem pengolahan informasi dan kemudian memperbaikinya. Untuk mencapai kondisi ini, konselor membantu konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis dan keyakinan intinya dan mempertalikannya dengan emosi dan perilakunya; mengevaluasi validitas dari pikiran-pikiran tersebut; dan kemudian memodifikasinya. Tujuan tersebut ditetapkan melalui kolaborasi antara konselor dan konseli, dan kemudian harus dirumuskan secara operasional dan ditulisakan dalam bentuk pernyataan kontrak.
Sumber : Modul PLPG Bimbingan dan Konseling
Konsorsium Sertifikasi Guru 2013 UNESA
Model Konseling Lintas Budaya
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
a.       Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitivisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus. Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka. Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, focus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

b.      Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
1) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2) Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
3) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
4) Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family
    experiences and endowments).
Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
c.       Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
Sumber : Handout
Bimbingan Dan Konseling Lintas Budaya
Oleh Mamat Supriatna
(PPB – FIP – UPI) Dalam https://file.upi.edu/ [Online] Di Akses Pada Rabu, 9 April 2015